Sabtu, 23 Maret 2013

Filsafat Ilmu




       I.            BAB I : RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU
A.    Ilmu Sebagai Objek Kajian Filsafat
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek formal dan objek material. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, sedangkan objek formal adalah metode untuk memahami objek material tersebut. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 1)
Filsafatlah yang menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Karena itu, filsafat disebut sebagai induk ilmu. Sebab dai flsafatlah ilmu-ilmu modern berkembang, sehingga manusia dapat menikmati manfaatnya, yaitu teknologi. Disamping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional, dan logis, termasuk hal yang empiris.
Awalnya, filsafat terbagi kepada teoritis dan praktis. Teoritis ini meliputi metafisika, fisika, matematika, dan logika. Seadangkan filsafat praktis mencakup ekonomi, politik, hukum, dan etika. Kemudian setiap bagian ilmu ini berkembang menjadi cabang-cabang ilmu tertentu.
Tugas filsafat ilmu di antaranya adalah menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antara berbagai kepentingan. Ilmu sebagai objek kajian filsafat, sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang didekati lewat pendekatan radikal, menyeluruh, dan rasional. Begitu juga sifat pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu karenanya ilmu dilihat pada posisi yang tidak mutlak, sehingga masih ada ruang untuk berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 2-4)
B.     Pengertian Filsafat Ilmu
a.      Filsafat
Filsafat dalam Bahasa Inggris, yaitu : philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : philosophia, yang terdiri atas dua kata  : philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). (Amsal Bakhtiar, 2004 : 4)
Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan yang sistemik dan inklusif tentang alam semesta di mana manusia ada di dalamnya. Filsafat juga dapat diartikan sebagai “berfikir reflektif dan kritis”. Harold H. Titus mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, filsafat diartikan suatu ilmu yang berhubungan dengan metopde logis atau analisis logika bahasa dan makna-makna. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai lapangan pengalaman menusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup. Dapat disimpulkan bahwa, filsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan atau kearifan. (Burhanuddin Salam, 1995 : 58-59)
Pengertian menurut para ahli di antaranya:
·         Plato, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
·         Aristoteles, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu, metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
·         Marcus Tullius Cicero, merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
·         Al-Farabi, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu penetahuan tentang alam maujuda dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
·         Immanuel Kant, mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu (1) apakah yang dapat kita ketahui? Pertanyaan ini dijawab oleh Metafisika, (2) apakah yang boleh kita kerjakan? Pertanyaan ini dijawab oleh Etika, (3) apakah manusia itu? Pertanyaan ini dijawab oleh Antropologi, (4) sampai manakah pengharapan kita? Pertanyaan ini dijawab oleh Agama. (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 26-27)
b.      Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab : ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami, benar-benar. Dalam bahasa Inggris disebut science, dari bahasa Latin scientis (pengetahuan) – scire (mengetahui). Jadi, pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 12)
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli, yaitu :
·         Mohammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya.
·         Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum dan sistemik, dan keempatnya serentak.
·         Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
·         Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam suatu sistem yang berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tetang hal yang sedang dikaji.
·         Harsojo, menerangan bahwa ilmu adalah : (1) merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematiskan, (2) suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, (3) suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahlinya untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk, “jadi….., maka……”.

·         Afanasyef, mendefinisikan ilmu dengan pengetahuan manusia tentang alam masyarakat dan pikiran.
Dari keterangan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistemik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun). (Amsal Bakhtiar, 2004 : 15-16)
Jadi, filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Dalam hal ini filsafat ilmu ingin menjawab pertanyan mengenai hakikat ilmu, yaitu (1) objek apa yang ditelaah ilmu? (2) bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? (3) untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? (Jujun S. Suriasumantri, 2007 : 33)
c.       Persamaan dan Perbedaan Fisafat dan Ilmu
Persamaan filsafat dengan ilmu adalah :
·         Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
·         Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yag ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
·         Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
·         Keduanya mempunyai metode dan sistem.
·         Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Perbedaan filsafat dengan ilmu adalah :
·         Objek material (lapangan) filsafat bersifat universal (umum), sedangkan objek material ilmu bersifat khusus dan empiris.
·         Objek formal (sudut pandang) filsafat ilmu bersifat nonfragmentaris, sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif.
·         Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error.
·         Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif (menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu).
·         Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause), sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, ayng lebih dekat, yang sekunder (secondary cause). (Amsal Bakhtiar, 2004 : 18-19)
C.    Tujuan Filsafat Ilmu
·         Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu.
·         Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
·         Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi.
·         Mendorong calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkannya.
·         Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 20)
Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
·         Dapat mendorong pertumbuhan wawasan spiritual keilmuan yang mampu mengatasi bahaya sekularisme ilmu pengetahuan (nilai ontologis).
·         Dapat mendorong pertumbuhan wawasan intelektual keilmuan yang mampu membentuk sikap ilmiah (nilai epistemologi).
·         Dapat mendorong pertumbuhan perilaku, moral, dan berkebudayaan (nilai etis).
·         Mendorong Perguruan Tinggi untuk kembali ke basis akademik “Tridharmanya”.
(Suparlan Suhartono, 2008 : 32-33)


    II.            BAB II : SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU
A.    Landasan Ilmu Pada Zaman Yunani
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi lebih pro aktif dan kreatif, sehingg alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 21-22)
Kebanyakan para ahli berpendapat bahwa pemikiran filsafat mulai berkembang sekeitar permulaan abad ke-6 sebelum masehi. Ia lahir di Yunani yang terletak di pesisir Asia Kecil dan pada zaman keemasannya berpusat di Athena. Kira-kira pada pertengahan abad ke-5 sebelum masehi, pemikiran filsafat pada masa itu disebut masa Purba Yunani.
Periode filsafat Yunani ini dapat dibagi kepada :
1.      Periode filsafat alam, dari tahun 600 SM sampai 450 SM. Filsafat pada periode ini membicarakan persoalan wujud.
2.      Periode filsafat kemanusiaan, berlaku dari tahun 450 SM sampai 400 SM, yang membicarakan pertalian Ethika dan sosial dari manusia.
3.      Periode filsafat sistematik, dari tahun 400 SM sampai 300 SM. Selama periode ini, seluruh persoalan manusia telah dihubungkan oleh pikiran manusia menjadi satu keseluruhan. (Tasman Ya’cub, 1999 : 10-11)
Orang Yunani awalnya sangat percaya pada dongeng dan tahayul, tetapi lama-kelamaan, terutama setelah mereka mampu membedakan yang riil dengan yang ilusi, mereka mampu keluar dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Inilah titik awal manusia mengunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filosos alam pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah Thales (624-546 SM). Ia digelari bapak filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat dan mempertanyakan “apa sebenarnya asal-usul alam semesta ini?”. Ia mengatakan asal alam adalah air, karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat beruba menjadi benda gas, seperti uap dan benda padat, seperti es dan bumi ini juga berada di atas air.
Setelah Thales, muncul Anaximandros (610-540 SM). Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Unsur utama alam harus yang mencakup segalanya dan di atas segalaya, yang dinamakan apeiron. Ia adalah air, maka air harus meliputi segalanya, termasuk api yang merupakan lawannya. Anaximandros tidak puas dengan menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam, tetapi dia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.
Heraklitos (540-480 SM), melihat alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah. Itu berarti bahwa bila kita hendak memahami kehidupan kosmos, kita harus menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Segala sesuatu saling bertentangan dan dalam pertentangan itulah kebenaran. Itulah sebabnya ia mempunyai kesimpulan bahwa, yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM). Pandangannya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurut Heraklitos, realitas seluruhnya bukanlah sesuatu yang lain daripada gerak dan perubahan, sedangkan menurut Parmenides, gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak, dan tidak berubah.
Pythagoras (580-500 SM) mengembalikan segala sesuatu kepada bilangan. Baginya tidak ada satupun yang di alam ini terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan (kuantitas). Dia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran.
Galileo menegaskan bahwa alam ditulis dalam bahasa matematika. Dalam filsafat ilmu, matematika merupakan sarana ilmiah yang terpenting dan akurat karena dengan pendekatan matematiklah ilmu dapat diukur dengan benar dan akurat. Di samping itu, matematik dapat menyederhanakan uraian yang panjang dalam bentuk simbol, sehingga lebih cepat dipahami.
Setelah berakhirnya masa filosof alam, maka muncul masa transisi, yaitu penelitian terhadap alam tidak menjadi fokus utama, tetapi sudah mulai menjurus pada penyelidikan pada manusia. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM), ia menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Pernyataan ini merupakan cikal bakal humanisme. Yang jelas ia menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjetif dan relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Tokoh lain dari kaum sofis adalah Gorgias (483-375 SM). Menurutnya ada 3 proposisi. Pertama, tidak ada yang ada, maksudnya realitas sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak akan dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semangat berfilsafat. Namun, para filosof setelah kaum sofis tidak setuju dengan pandangan tersebut, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka ada kebenaran objkif yang bergantung kepada manusia. Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan Yunani. Karena, pada masa ini kajian-kajian yang mucul adalah perpaduan antara filsafat alam pdan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), menurutnya esensi itu mempunyai realitas dan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Plato berhasil mengsintesakan antara pandanga Heraklitos dan Parmenides. Menurut Heraklitos berubah, sedangkan Parminides mengatakan sebaliknya. Untuk mendamaikan pandangan ini, Plato berpendapat bahwa pandangan Heraklitos benar, tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja, sedangkan pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya berlaku bagi idea-idea bersifat abadi, dan idea inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis :
·         Semua manusia akan mati (premis mayor)
·         Socrates seorang manusia (premis minor)
·         Socrates akan mati (konklusi)
Logika Aristoteles ini juga disebut dengan logika deduktif, yang mengukur valid atau tidaknya sebuah pemikiran.
            Aristoteles yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoretis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis (etika, ekonomi, dan politik). Aristoteles dianggap bapak ilmu, karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
            Filsafat Yunani yang rasional itu boleh dikatakan berakhir setelah Aristoles menuangkan pemikirannya. Namun, jelas setelah periode ke-3 filosof besar itu, mutu filsafat semakin merosot. Kemunduran filsafat itu sejalan dengan kemunduran politik ketika itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya kerajaan Masedonia menjadi pecahan-pecahan kecil setelah wafatnya Alexander The Great. Tepatnya pada ujung zaman Hellenisme, yaitu pada ujung sebelum masehi menjelang Neo Platonisme, filsafat benar-benar mengalami kemunduran. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 23-32)
B.     Perkembangan Ilmu Zaman Islam
Pandangan Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan munculnya Islamitu sendiri. Ketika Rasulullah SAW. menerima wahyu pertama, yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca” terhadap kitab suci (Al-Qur’an), yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya, tetapi juga pencarian makna secara lebuih mendalam, yang berguna untuk pembangunnan paradigma ilmu. Selanjutnya, Al-Qur’an dan Hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntu ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirya akan bermuara pada penegasan Tauhid. Singkatnya, Al-Qur’an dan Sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam.
Sejarah pekembangan ilmu pada zaman Islam dibagi dalam zaman :
1.      Penyampaian Ilmu dan Filsafat Yunani ke dalam Dunia Islam
Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia Islam, pada dasarnya terdapat upaya rekonsiliasi (mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan ang berbeda, bahkan seringkali ekstrim) antara pandangan filsafat Yunani dengan pandangan keagamaan dalam Islam yng seringkali menimbulkan benturan-benturan. Selanjutnya, ketika berbicara tentang penyampaian ilmu dan fisafat Yunani ke dunia Islam, kita harus melihat sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan (aktivitas penerjemahan).
Selain itu, pada masa ini juga didapati pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti Ariokh, Ephesus, dan Iskandariah, di mana buku-buku Yunani Purba masih dibaca dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, terutama Siriani, bahkan setelah pusat-pusat itu ditaklukkan oleh umat Islam, pengaruh pemikiran Yunani tetap mendalam dan meluas. Pada masa ini juga didapati seorang tokoh Kristen bernama Nestorius, yang melakukan dekonstruksi atas pemahaman teologi kalangan Kristen konservatif ortodoks, setelah ia terpengaruh oleh alam pikiran Yunani tersebut.
Dalam hal ini, menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual, tetapi juga membuktikan kecintaan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan sikap hormat mereka kepada ilmuwan, tanpa memandang agama mereka. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 33-37)
2.      Perkembangan Ilmu pada Masa Islam Klasik
Sejak awal Islam kajian-kajian dalam bidang teologi sudah berkembang, meskipun masih berbentuk embrio. Embrio inilah yang masa kemudian menemukan bentuknya yang lebih sistematis dalam kajian-kajian teologis dalam Islam. Tahap penting berikutnya dalam proses perkembangan dan tradisi ilmuwan Islam ialah masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam Islam, khususnya unsur-unsur budaya Perso-Semitik dan budaya Hellenisme. Dari adanya pandangan yang dikotomis antara keduanya, kemudian muncul usaha menengahi dengan menggunakan argumen-argumen Hellenisme, terutama filsafat Aristoteles.
Dapat ditarik sebuah hipotesis sementara bahwa pada awal Islam, pengaruh Hellenisme dan juga filsafat Yunani terhadap tradisi keilmuan Islam sudah sedemikian kental, sehingga pada saat selanjutnya pengaruh itupun terus mewarnai perkembangan ilmu pada masa-masa berikutnya. (Amsal Bakhiar, 2004 : 38-40)
3.      Perkembangan Ilmu pada Masa Kejayaan Islam
Pada masa kejayaan kekuasaan Islam, khususnya pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa Islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang sama, wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan peradaban (dark age).
Selain adanya perkembangan ilmu yang dapat dikategorikan ke dalam bidang eksakta, matematika, fisika, kimia, geometri, dan lainnya, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu keislaman, baik dalam bidang tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, dan disiplin ilmu keislaman yang lain.
Masih berkaitan dengan era kejayaan keilmuan Islam, perlu juga disinggung secara sepintas tentang transformasi ilmu dari dunia Islam ke barat. Terjadinya transformasi kebudayaan dan khususnya imu dari dunia Islam ke barat, disebabkan oleh : pertama, kontak pribadi dan kedua, adanya kegiatan penerjemahan. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 40-46)
4.      Masa Keruntuhan Tradisi Keilmuan dalam Islam
Ini disebabkan oleh :
·         Diterimanya paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya  bersifat statis, sementara jiwa Islam adalah dinamis dan berkembang.
·         Kekeliruan persepsi dalam memahami pemikiran Al-Ghazali.
·         Para penguasa seringkali merasa takut dengan tersebar luasnya pendidikan dan pengetahuan di kalangan masa yang dapat menggerogoti kekuasaan mereka yang mutlak.
·         Kesulitan-kesulitan ijtihad dan nistisisme asketik juga merupakan faktor yang menyebabkan kemunduran tradisi intelektual dan keilmuan di dunia Islam. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 47-49)
C.    Kemajuan Ilmu Zaman Renaisans dan Modern.
1.      Masa Renaisans (abad ke-15-16)
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengadung arti bagi perkembangan zaman. Zaman ini juaga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, Leonardo da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya benua baru (1492 M) oleh Columbus. Adanya penemuan para ahli perbintangan seperti Copernicus dan Galileo.
Pada zaman renaisans ini, manusia barat mulai berpikir secara baru dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu.
·         Copernicus (1473-1543), “heliosentris”
Copernicus adalah seorang tokoh gereja ortodoks yang menemukan bahwa matahari berada di pusat jagad raya dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari.
·         Tycho Brahe (1546-1601)
Perhatiannya dimulai pada November 1572, dengan munculnya bintang baru di gugusan Cassiopeia secara tiba-tiba, yaitu bintang yang cemerlang selama 16 bulan sebelum ia padam lagi. Dalam tahun 1577, ia dapat mengikuti timbulnya Comet. Dengan bantuan alat-alatnya, ia menetapkan lintasan comet tersebut, yang ternyata lebih jauh dari Venus.
·         Johannes Keppler (1571-1630)
Ia adalah pembantu Tycho dan seorang ahli matematika. Setelah Tycho meninggal, ia melanjutkan pengamatan dan tetap mengembangkan astrologi untuk memperoleh uang guna memelihara perkembangan astronomi.
·         Galileo (1546-1642), “heliosentrik”
Penemuan lintas peluru, hukum pergerakan, dan penemuan tata bulan planet Jupiter. Ia membagi sifat benda dalam dua golongan, yaitu : pertama, golongan yang langsung mempunyai hubungan dengan metode pemeriksaan fisik (primer), contohnya berat, panjang, dan lain-lain, kedua, golongan yang tidak mempunyai peranan dalam proses pemeriksaan ilmiah (sekunder), contohnya warna, asam, manis.
·         Napier (1550-1617), “logaritma”
Berdasarkan basis e.
·         Briggs (1615)
Mengubah logaritma basis e ke dalam dasar 10.
·         Brochiel de Decker (1626), memperluasnya.
·         Desarque (1593-1662)
Ditemukan Projective Geometry, yang berhubungan dengan cara melihat sesuatu.
·         Fermat
Ia mengembangkan Ortogonal Coordinate System, seperti halnya Descrates, di samping itu ia juga melaksanakan penelitian teori aljabar, berkenaan dengan bilanngan-bilangan dan soal-soal yang dalam tangan Newtond dan Leibniz kemudian akan menjelma sebagai perhitungan diferensial-integal (calculus). Fermar bersama-sama Pascal menyusun dasar-dasar perhitungan statistik. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 49-57)
2.      Zaman Modern (abad ke-17-19 M)
·         Newton (1643-1727), “Teori Gravitasi Newton”
Ini dimulai ketika muncul persangkaan penyebab planet tidak mengikuti pergerakan lintas lurus, apakah matahari yang menarik bumi atau antara bumi dan matahari ada gaya saling tarik-menarik.
·         Joseph Black (1728-1799)
Ia dikenal sebagai pelopor dalam pemeriksaan kualitatif, ia menemukan gas CO2.
·         Henry Cavendish (1731-1810)
Ia memeriksa gas yang terjadi jika serbuk besi disiram dengan asam dan menghasilkan hawa yang dapat dinyalakan.
Setelah abad ke-18, pada abad ke-19 penemuan yang dianggap sebagai penemuan abad, yaitu penemuan planet Neptunus. Pada abad XX, terjadi perkembangan ilmu pasti, ilmu kimia, ilmu fisika, dan lain-lain. (Amsal Bahtiar, 2004 : 57-63)
3.      Ilmu yang Berbasis Rasionalisme dan Empirisme
Manusia berusaha mencari jawaban secara rasional dengan meninggalkan cara yang rasional. Kaum rasionalisme mengembangkan paham rasionalisme. Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah cara berpikir yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini, mengguanakn pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme itu terdiri atas dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan disebut premis mayor atau premis minor. Kesimpulan diperoleh dengan penalaran deduktif dari kedua premis itu.
Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penalaran deduktif, ternyata mempunyai kelemahan, maka muncullah pandangan lain yang berdasarkan pengalaman konkret. Mereka yang mengembangkan pengetahuan yang berdasarkan pengalaman konkret ini disebut penganut epirisme. Paham empirisme menganggap bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang diperoleh langsung dari pengalaman konkret.
Menurut paham empirisme, gejala alam bersifat konkret dan dapat ditangkap dengan panca indera manusia. Dengan pertolongan panca inderanya, manusia berhasil menghimpun sangat banyak pengetahuan. Penganut empirisme menysun pengetahuan dengan menggunakan penalaran induktif. Penalaran induktif ialah cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifta khusus. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 63-66)
4.      Perkembangan Filsafat Pada Zaman Modern
Pada zaman modern, filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada paham idealisme mengajarkan bahwa hakikat fisik adalah jiwa, spirit. Sedangkan paham empiris dinyatakan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Pada abad XX, aliran filsafat banyak sekali, sehingga sulit digolongkan, karena makin eratnya kerja sama internasional. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 66-67)
D.    Kemajuan Ilmu Zaman Kontemporer
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer di sini adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman kontemporer meliputi hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, serta ilmu-ilmu eksakta, serta aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi rekayasa genetika, informasi dan komunikasi.
Beberapa contoh perkembangan ilmu kontemporer, adalah :
1.      Santri (yang menekankan aspek-aspek Islam), Priyayi (yang menekankan aspek-aspek Hindu), Abangan (yang menekankan pentingnya Animistik).
2.      Teknologi Rekayasa Genetika, contohnya kloning.
3.      Teknologi Informasi, pada penggunaan komputer.
4.      Teori Partikel Elementer, seperti pada atom dan jenis neutron. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 68-84)

  III.            BAB III : PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN
A.    Definisi dan Jenis Pengetahuan
Ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni “ilm”, yang diartikan pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan berbeda. Pengetahuan bukan berarti ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan, sebagaimana berbedanya antara science dan knowledge dalam bahasa Inggris. (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 35)
Secara etomologi, pengetahuan berasal dari kata, dalam bahasa Inggris, yaitu knowledge. Dalam Encycopedia Of Phisolohy, dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar. Sedangkan secara terminologi, akan dikemukakan definisi dari pengetahuan. Menurut Drs.Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insyaf, mengerti, dan pandai. Dalam kamus filsafat, dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran internasional objek dalam subjek. Namun, dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berartikeputusan yang benar dan pasti (kebenaran dan kepastian). (Amsal Bakhtiar, 2004 : 85-86)
Pengetahuan juga dapat ditinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi, maka secara implisit kita mengakui bahwa wahyu dan intuisi adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu, maka kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan), bahwa yang diwahyukan itu adalah benar. Demikian juga dengan intuisi di mana kita percaya, bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berpikir intuitif tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertetu. (Jujun S. Suriasumantr, 2007 : 44)
           
            Jenis-jenis Pengetahuan :
1.      Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik.
2.      Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science.
3.      Pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif.
4.      Pengetahuan agama, yaitu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 86-89)
B.     Hakikat dan Sumber Pengetahuan
1.      Hakikat Pengetahuan :
·         Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Ajaran realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
·         Idealisme
Idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Premis pokok yang diajukan untuk idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan utama dalam alam semesta.
2.      Sumber Pengetahuan :
·         Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani, empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.
·         Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
·         Intuisi
Menurut Henry Bergson, intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Menurutnya, intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbol yang pada dasarnya bersifat analisis, menyeluruh, mutlak dan tanpa dibantu oleh penaggambaran secara simbolis.
·         Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para Nabi. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 92-110)
C.    Ukuran Kebenaran
Dalam pembahasan ini, dibahas kebenaran epistemologis, karena kebenara yang lainnya secara inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistemologis. Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis adalah sebagai berikut :
1.      Teori Korespondensi
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Pengetahuan dikatakan benar apabila di dalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, internasional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada di dalam objek.
2.      Teori Koherensi tentang Kebenaran
Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangakan satu sama lain.
3.      Teori Pragmatisme tentang Kebenaran
Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada azas manfaat. Sesuatu dianggap benar, jika mendatangkan manfaat dana akan dikatakan salah, jika tidak mendatangkan manfaat. Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
4.      Agama sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam agama, yang di kedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. Suatu hal itu diangap benar, apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 111-122)
D.    Klasifikasi dan Hierarki Ilmu
Para filosof muslim membedakan ilmu kepada ilmu yang berguna (ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan) dan ilmu yang tidak berguna (ilmu sihir, alkemi, dan numerologi). Secara umum, ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hierarkis ilmu-ilmu, yaitu metodologis, ontologis, dan etis.
Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, dan terakhir yurisprudensi dan teologi dialektis. Beliau memberi perincian ilmu-ilmu religius (Ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika, dan ilmu politik.
Sedangkan Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah. Klasifikasi Al-Ghazali tentang ilmu syar’iyyah  dan ilmu aqliyyah adalah sebagai berikut :
1.      Ilmu syar’iyyah
a.       Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
·         Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
·         Ilmu tentang kenabian
·         Ilmu tentang akhirat atau eskatologis
·         Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah (primer), ijma’, dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori :
ü  Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
ü  Ilmu-ilmu pelengkap, terdiri dari : ilmu Qur’an, ilmu riwayat al-Hadits, ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh.
b.      Ilmu tentang cabang-cabang (furu’)
·         Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah)
·         Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat :
ü  Ilmu tentang transaksi, termasuk qishas
ü  Ilmu tentang kewajiban kontraktual (berhubungan dengan hukum kekeluargaan)
·         Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak)
2.      Ilmu aqliyyah
a.       Matematika : aritmatika, geometri, astronomi, astrologi, dan musik
b.      Logika
c.       Fisika/ilmu alam : kedokteran, meteorologi, mineralogi, dan kimia
d.      Ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika :
·         Ontologi
ü  Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktifitas Ilahi
ü  Pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana
ü  Pengetahuan tentang dunia halus
ü  Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi
ü  Teurgi (nairanjiyyat). Ilmu menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 122-129)


DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.
Ya’cub, Tasman, Filsafat Islam : Profil Filosof Islam dan Filsafatnya di Dunia Timur dan Barat, Padang : IAIN – IB Press, 1999.
Ahmad, Beni, Saebani, Filsafat Ilmu : Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk, Sumber, dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung : Pustaka Setia, 2009.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Suriasumantri, S. Jujun, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2007.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan : Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2008.

5 komentar:

  1. assalamualaikum......kak terima kasih ya.....
    saya malang melintang di dunia maya untuk mencari referensi....akhirnya ketemu di situs ini.....syukron

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya sama2 dek...
      sering2 berkunjung ke blog ini yaah.. :)

      Hapus
  2. Terimakasih bermanfaat untuk saya pribadi

    BalasHapus