I.
BAB
I : RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU
A.
Ilmu
Sebagai Objek Kajian Filsafat
Pada dasarnya,
setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek formal dan objek material.
Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, sedangkan
objek formal adalah metode untuk memahami objek material tersebut. Filsafat
sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek
material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada.
Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Ada yang
tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah dunia
empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian
filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam
alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun
objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan
rasional tentang segala yang ada. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 1)
Filsafatlah
yang menyediakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Karena itu, filsafat
disebut sebagai induk ilmu. Sebab dai flsafatlah ilmu-ilmu modern berkembang,
sehingga manusia dapat menikmati manfaatnya, yaitu teknologi. Disamping itu,
secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah
yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis,
rasional, dan logis, termasuk hal yang empiris.
Awalnya,
filsafat terbagi kepada teoritis dan praktis. Teoritis ini meliputi metafisika,
fisika, matematika, dan logika. Seadangkan filsafat praktis mencakup ekonomi,
politik, hukum, dan etika. Kemudian setiap bagian ilmu ini berkembang menjadi
cabang-cabang ilmu tertentu.
Tugas filsafat
ilmu di antaranya adalah menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak
terjadi bentrokan antara berbagai kepentingan. Ilmu sebagai objek kajian filsafat,
sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang didekati lewat
pendekatan radikal, menyeluruh, dan rasional. Begitu juga sifat pendekatan
spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu karenanya ilmu
dilihat pada posisi yang tidak mutlak, sehingga masih ada ruang untuk
berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 2-4)
B.
Pengertian
Filsafat Ilmu
a.
Filsafat
Filsafat dalam
Bahasa Inggris, yaitu : philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari
bahasa Yunani : philosophia, yang terdiri atas dua kata : philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan shopos (hikmah, kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Jadi, secara
etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of
wisdom). (Amsal Bakhtiar, 2004 : 4)
Filsafat
diartikan sebagai suatu pandangan yang sistemik dan inklusif tentang alam
semesta di mana manusia ada di dalamnya. Filsafat juga dapat diartikan sebagai
“berfikir reflektif dan kritis”. Harold H. Titus mengemukakan pengertian
filsafat dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, filsafat diartikan
suatu ilmu yang berhubungan dengan metopde logis atau analisis logika bahasa
dan makna-makna. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba
mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai lapangan pengalaman menusia
yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam
semesta, hidup, dan makna hidup. Dapat disimpulkan bahwa, filsafat merupakan
kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan atau kearifan.
(Burhanuddin Salam, 1995 : 58-59)
Pengertian menurut
para ahli di antaranya:
·
Plato,
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu
yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
·
Aristoteles,
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung
di dalamnya ilmu-ilmu, metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika.
·
Marcus
Tullius Cicero, merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang
maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
·
Al-Farabi,
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu penetahuan tentang alam maujuda dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
·
Immanuel
Kant, mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan
yang meliputi empat persoalan, yaitu (1) apakah yang dapat kita ketahui?
Pertanyaan ini dijawab oleh Metafisika, (2) apakah yang boleh kita kerjakan?
Pertanyaan ini dijawab oleh Etika, (3) apakah manusia itu? Pertanyaan ini
dijawab oleh Antropologi, (4) sampai manakah pengharapan kita? Pertanyaan ini
dijawab oleh Agama. (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 26-27)
b.
Ilmu
Ilmu berasal
dari bahasa Arab : ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila,
yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami, benar-benar. Dalam bahasa Inggris
disebut science, dari bahasa Latin scientis (pengetahuan) – scire
(mengetahui). Jadi, pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa
Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 12)
Adapun beberapa
definisi ilmu menurut para ahli, yaitu :
·
Mohammad
Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya.
·
Ralph
Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum
dan sistemik, dan keempatnya serentak.
·
Karl
Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan
konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
·
Ashley
Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam suatu
sistem yang berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk menentukan
hakikat prinsip tetang hal yang sedang dikaji.
·
Harsojo,
menerangan bahwa ilmu adalah : (1) merupakan akumulasi pengetahuan yang
disistematiskan, (2) suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh
dunia empiris, (3) suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahlinya
untuk menyatakan sesuatu proposisi dalam bentuk, “jadi….., maka……”.
·
Afanasyef,
mendefinisikan ilmu dengan pengetahuan manusia tentang alam masyarakat dan
pikiran.
Dari keterangan
para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan
yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistemik, rasional, empiris,
universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun).
(Amsal Bakhtiar, 2004 : 15-16)
Jadi, filsafat
ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Dalam hal ini filsafat
ilmu ingin menjawab pertanyan mengenai hakikat ilmu, yaitu (1) objek apa yang
ditelaah ilmu? (2) bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? (3) untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?
(Jujun S. Suriasumantri, 2007 : 33)
c.
Persamaan
dan Perbedaan Fisafat dan Ilmu
Persamaan filsafat dengan ilmu
adalah :
·
Keduanya
mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya
sampai ke akar-akarnya.
·
Keduanya
memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yag ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
·
Keduanya
hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
·
Keduanya
mempunyai metode dan sistem.
·
Keduanya
hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat
manusia (objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Perbedaan filsafat dengan ilmu
adalah :
·
Objek
material (lapangan) filsafat bersifat universal (umum), sedangkan objek
material ilmu bersifat khusus dan empiris.
·
Objek
formal (sudut pandang) filsafat ilmu bersifat nonfragmentaris, sedangkan ilmu
bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif.
·
Filsafat
dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi,
kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan
trial and error.
·
Filsafat
memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman
realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif (menguraikan secara
logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu).
·
Filsafat
memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar
(primary cause), sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak
begitu mendalam, ayng lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
(Amsal Bakhtiar, 2004 : 18-19)
C.
Tujuan
Filsafat Ilmu
·
Mendalami
unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber,
hakikat, dan tujuan ilmu.
·
Memahami
sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang,
sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara
historis.
·
Menjadi
pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi.
·
Mendorong
calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan
mengembangkannya.
·
Mempertegas
bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada
pertentangan. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 20)
Manfaat
Mempelajari Filsafat Ilmu
·
Dapat
mendorong pertumbuhan wawasan spiritual keilmuan yang mampu mengatasi bahaya
sekularisme ilmu pengetahuan (nilai ontologis).
·
Dapat
mendorong pertumbuhan wawasan intelektual keilmuan yang mampu membentuk sikap
ilmiah (nilai epistemologi).
·
Dapat
mendorong pertumbuhan perilaku, moral, dan berkebudayaan (nilai etis).
·
Mendorong
Perguruan Tinggi untuk kembali ke basis akademik “Tridharmanya”.
(Suparlan Suhartono, 2008 : 32-33)
II.
BAB
II : SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU
A.
Landasan
Ilmu Pada Zaman Yunani
Periode
filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia
karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris
menjadi logosentris. Pola pikir mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang
sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi
dan pelangi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi
lebih pro aktif dan kreatif, sehingg alam dijadikan objek penelitian dan
pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat,
yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. (Amsal Bakhtiar, 2004 :
21-22)
Kebanyakan para
ahli berpendapat bahwa pemikiran filsafat mulai berkembang sekeitar permulaan
abad ke-6 sebelum masehi. Ia lahir di Yunani yang terletak di pesisir Asia
Kecil dan pada zaman keemasannya berpusat di Athena. Kira-kira pada pertengahan
abad ke-5 sebelum masehi, pemikiran filsafat pada masa itu disebut masa Purba
Yunani.
Periode filsafat Yunani ini dapat
dibagi kepada :
1.
Periode
filsafat alam, dari tahun 600 SM sampai 450 SM. Filsafat pada periode ini
membicarakan persoalan wujud.
2.
Periode
filsafat kemanusiaan, berlaku dari tahun 450 SM sampai 400 SM, yang
membicarakan pertalian Ethika dan sosial dari manusia.
3.
Periode
filsafat sistematik, dari tahun 400 SM sampai 300 SM. Selama periode ini,
seluruh persoalan manusia telah dihubungkan oleh pikiran manusia menjadi satu
keseluruhan. (Tasman Ya’cub, 1999 : 10-11)
Orang Yunani
awalnya sangat percaya pada dongeng dan tahayul, tetapi lama-kelamaan, terutama
setelah mereka mampu membedakan yang riil dengan yang ilusi, mereka mampu
keluar dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah.
Inilah titik awal manusia mengunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus
mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filosos alam
pertama yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah Thales (624-546 SM). Ia
digelari bapak filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat dan
mempertanyakan “apa sebenarnya asal-usul alam semesta ini?”. Ia mengatakan asal
alam adalah air, karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat
beruba menjadi benda gas, seperti uap dan benda padat, seperti es dan bumi ini
juga berada di atas air.
Setelah Thales,
muncul Anaximandros (610-540 SM). Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa
substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya.
Unsur utama alam harus yang mencakup segalanya dan di atas segalaya, yang
dinamakan apeiron. Ia adalah air, maka air harus meliputi segalanya,
termasuk api yang merupakan lawannya. Anaximandros tidak puas dengan
menunjukkan salah satu anasir sebagai prinsip alam, tetapi dia mencari yang
lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indera.
Heraklitos
(540-480 SM), melihat alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah. Itu
berarti bahwa bila kita hendak memahami kehidupan kosmos, kita harus menyadari
bahwa kosmos itu dinamis. Segala sesuatu saling bertentangan dan dalam
pertentangan itulah kebenaran. Itulah sebabnya ia mempunyai kesimpulan bahwa,
yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan
penyebabnya.
Filosof alam
yang cukup berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM). Pandangannya bertolak
belakang dengan Heraklitos. Menurut Heraklitos, realitas seluruhnya bukanlah
sesuatu yang lain daripada gerak dan perubahan, sedangkan menurut Parmenides,
gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi. Menurutnya, realitas merupakan
keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak, dan tidak berubah.
Pythagoras
(580-500 SM) mengembalikan segala sesuatu kepada bilangan. Baginya tidak ada
satupun yang di alam ini terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur
dengan bilangan (kuantitas). Dia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama
dari alam dan sekaligus menjadi ukuran.
Galileo
menegaskan bahwa alam ditulis dalam bahasa matematika. Dalam filsafat ilmu,
matematika merupakan sarana ilmiah yang terpenting dan akurat karena dengan
pendekatan matematiklah ilmu dapat diukur dengan benar dan akurat. Di samping
itu, matematik dapat menyederhanakan uraian yang panjang dalam bentuk simbol,
sehingga lebih cepat dipahami.
Setelah
berakhirnya masa filosof alam, maka muncul masa transisi, yaitu penelitian
terhadap alam tidak menjadi fokus utama, tetapi sudah mulai menjurus pada
penyelidikan pada manusia. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM), ia
menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Pernyataan ini merupakan
cikal bakal humanisme. Yang jelas ia menyatakan bahwa kebenaran itu
bersifat subjetif dan relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut
dalam etika, metafisika, maupun agama. Tokoh lain dari kaum sofis adalah
Gorgias (483-375 SM). Menurutnya ada 3 proposisi. Pertama, tidak ada
yang ada, maksudnya realitas sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu
itu ada, ia tidak akan dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas dapat
kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Pengaruh
positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semangat
berfilsafat. Namun, para filosof setelah kaum sofis tidak setuju dengan
pandangan tersebut, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka menolak
relativisme kaum sofis. Menurut mereka ada kebenaran objkif yang bergantung
kepada manusia. Socrates berpendapat bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan
tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Periode setelah
Socrates disebut dengan zaman keemasan Yunani. Karena, pada masa ini
kajian-kajian yang mucul adalah perpaduan antara filsafat alam pdan filsafat
tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM),
menurutnya esensi itu mempunyai realitas dan dibuat-buat bahkan sudah ada di
alam idea. Plato berhasil mengsintesakan antara pandanga Heraklitos dan
Parmenides. Menurut Heraklitos berubah, sedangkan Parminides mengatakan
sebaliknya. Untuk mendamaikan pandangan ini, Plato berpendapat bahwa pandangan
Heraklitos benar, tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja, sedangkan
pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya berlaku bagi idea-idea bersifat
abadi, dan idea inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayaan
filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles. Logika Aristoteles berdasarkan
pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme
terdiri dari tiga premis :
·
Semua
manusia akan mati (premis mayor)
·
Socrates
seorang manusia (premis minor)
·
Socrates
akan mati (konklusi)
Logika Aristoteles ini juga disebut
dengan logika deduktif, yang mengukur valid atau tidaknya sebuah pemikiran.
Aristoteles
yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoretis (logika, metafisika,
dan fisika) dan praktis (etika, ekonomi, dan politik). Aristoteles dianggap
bapak ilmu, karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara
sistematis.
Filsafat
Yunani yang rasional itu boleh dikatakan berakhir setelah Aristoles menuangkan
pemikirannya. Namun, jelas setelah periode ke-3 filosof besar itu, mutu
filsafat semakin merosot. Kemunduran filsafat itu sejalan dengan kemunduran
politik ketika itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya kerajaan Masedonia menjadi
pecahan-pecahan kecil setelah wafatnya Alexander The Great. Tepatnya pada ujung
zaman Hellenisme, yaitu pada ujung sebelum masehi menjelang Neo Platonisme,
filsafat benar-benar mengalami kemunduran. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 23-32)
B.
Perkembangan
Ilmu Zaman Islam
Pandangan Islam
tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan munculnya Islamitu sendiri.
Ketika Rasulullah SAW. menerima wahyu pertama, yang mula-mula diperintahkan
kepadanya adalah “membaca” terhadap kitab suci (Al-Qur’an), yang memungkinkan
tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya, tetapi juga pencarian
makna secara lebuih mendalam, yang berguna untuk pembangunnan paradigma ilmu.
Selanjutnya, Al-Qur’an dan Hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi
pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntu ilmu,
pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirya akan bermuara pada penegasan
Tauhid. Singkatnya, Al-Qur’an dan Sunnah menciptakan atmosfir khas yang
mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam.
Sejarah pekembangan ilmu pada zaman
Islam dibagi dalam zaman :
1.
Penyampaian
Ilmu dan Filsafat Yunani ke dalam Dunia Islam
Dalam
perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia Islam, pada dasarnya terdapat upaya
rekonsiliasi (mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan ang berbeda, bahkan
seringkali ekstrim) antara pandangan filsafat Yunani dengan pandangan keagamaan
dalam Islam yng seringkali menimbulkan benturan-benturan. Selanjutnya, ketika
berbicara tentang penyampaian ilmu dan fisafat Yunani ke dunia Islam, kita
harus melihat sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan
dan mengembangkan ilmu pengetahuan (aktivitas penerjemahan).
Selain itu,
pada masa ini juga didapati pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti Ariokh,
Ephesus, dan Iskandariah, di mana buku-buku Yunani Purba masih dibaca dan
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, terutama Siriani, bahkan setelah
pusat-pusat itu ditaklukkan oleh umat Islam, pengaruh pemikiran Yunani tetap
mendalam dan meluas. Pada masa ini juga didapati seorang tokoh Kristen bernama
Nestorius, yang melakukan dekonstruksi atas pemahaman teologi kalangan Kristen
konservatif ortodoks, setelah ia terpengaruh oleh alam pikiran Yunani tersebut.
Dalam hal ini,
menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual,
tetapi juga membuktikan kecintaan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan
sikap hormat mereka kepada ilmuwan, tanpa memandang agama mereka. (Amsal
Bakhtiar, 2004 : 33-37)
2.
Perkembangan
Ilmu pada Masa Islam Klasik
Sejak awal
Islam kajian-kajian dalam bidang teologi sudah berkembang, meskipun masih berbentuk
embrio. Embrio inilah yang masa kemudian menemukan bentuknya yang lebih
sistematis dalam kajian-kajian teologis dalam Islam. Tahap penting berikutnya
dalam proses perkembangan dan tradisi ilmuwan Islam ialah masuknya unsur-unsur
dari luar ke dalam Islam, khususnya unsur-unsur budaya Perso-Semitik dan budaya
Hellenisme. Dari adanya pandangan yang dikotomis antara keduanya, kemudian
muncul usaha menengahi dengan menggunakan argumen-argumen Hellenisme, terutama
filsafat Aristoteles.
Dapat ditarik
sebuah hipotesis sementara bahwa pada awal Islam, pengaruh Hellenisme dan juga
filsafat Yunani terhadap tradisi keilmuan Islam sudah sedemikian kental,
sehingga pada saat selanjutnya pengaruh itupun terus mewarnai perkembangan ilmu
pada masa-masa berikutnya. (Amsal Bakhiar, 2004 : 38-40)
3.
Perkembangan
Ilmu pada Masa Kejayaan Islam
Pada masa
kejayaan kekuasaan Islam, khususnya pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan
Dinasti Abbasiyah, ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa
Islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang sama, wilayah-wilayah yang
jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan peradaban (dark
age).
Selain adanya
perkembangan ilmu yang dapat dikategorikan ke dalam bidang eksakta, matematika,
fisika, kimia, geometri, dan lainnya, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu
keislaman, baik dalam bidang tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, dan disiplin
ilmu keislaman yang lain.
Masih berkaitan
dengan era kejayaan keilmuan Islam, perlu juga disinggung secara sepintas tentang
transformasi ilmu dari dunia Islam ke barat. Terjadinya transformasi kebudayaan
dan khususnya imu dari dunia Islam ke barat, disebabkan oleh : pertama,
kontak pribadi dan kedua, adanya kegiatan penerjemahan. (Amsal Bakhtiar,
2004 : 40-46)
4.
Masa
Keruntuhan Tradisi Keilmuan dalam Islam
Ini disebabkan oleh :
·
Diterimanya
paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa Islam adalah
dinamis dan berkembang.
·
Kekeliruan
persepsi dalam memahami pemikiran Al-Ghazali.
·
Para
penguasa seringkali merasa takut dengan tersebar luasnya pendidikan dan
pengetahuan di kalangan masa yang dapat menggerogoti kekuasaan mereka yang
mutlak.
·
Kesulitan-kesulitan
ijtihad dan nistisisme asketik juga merupakan faktor yang menyebabkan
kemunduran tradisi intelektual dan keilmuan di dunia Islam. (Amsal Bakhtiar,
2004 : 47-49)
C.
Kemajuan
Ilmu Zaman Renaisans dan Modern.
1.
Masa
Renaisans (abad ke-15-16)
Renaisans
merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengadung
arti bagi perkembangan zaman. Zaman ini juaga merupakan penyempurnaan kesenian,
keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, Leonardo da
Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya benua baru (1492
M) oleh Columbus. Adanya penemuan para ahli perbintangan seperti Copernicus dan
Galileo.
Pada zaman
renaisans ini, manusia barat mulai berpikir secara baru dan secara
berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini
telah membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu.
·
Copernicus
(1473-1543), “heliosentris”
Copernicus adalah seorang tokoh
gereja ortodoks yang menemukan bahwa matahari berada di pusat jagad raya dan
bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan
gerak tahunan mengelilingi matahari.
·
Tycho
Brahe (1546-1601)
Perhatiannya dimulai pada November
1572, dengan munculnya bintang baru di gugusan Cassiopeia secara tiba-tiba,
yaitu bintang yang cemerlang selama 16 bulan sebelum ia padam lagi. Dalam tahun
1577, ia dapat mengikuti timbulnya Comet. Dengan bantuan alat-alatnya, ia
menetapkan lintasan comet tersebut, yang ternyata lebih jauh dari Venus.
·
Johannes
Keppler (1571-1630)
Ia adalah pembantu Tycho dan seorang
ahli matematika. Setelah Tycho meninggal, ia melanjutkan pengamatan dan tetap
mengembangkan astrologi untuk memperoleh uang guna memelihara perkembangan
astronomi.
·
Galileo
(1546-1642), “heliosentrik”
Penemuan lintas peluru, hukum
pergerakan, dan penemuan tata bulan planet Jupiter. Ia membagi sifat benda
dalam dua golongan, yaitu : pertama, golongan yang langsung mempunyai
hubungan dengan metode pemeriksaan fisik (primer), contohnya berat, panjang,
dan lain-lain, kedua, golongan yang tidak mempunyai peranan dalam proses
pemeriksaan ilmiah (sekunder), contohnya warna, asam, manis.
·
Napier
(1550-1617), “logaritma”
Berdasarkan basis e.
·
Briggs
(1615)
Mengubah logaritma basis e ke
dalam dasar 10.
·
Brochiel
de Decker (1626), memperluasnya.
·
Desarque
(1593-1662)
Ditemukan Projective Geometry,
yang berhubungan dengan cara melihat sesuatu.
·
Fermat
Ia mengembangkan Ortogonal
Coordinate System, seperti halnya Descrates, di samping itu ia juga
melaksanakan penelitian teori aljabar, berkenaan dengan bilanngan-bilangan dan
soal-soal yang dalam tangan Newtond dan Leibniz kemudian akan menjelma sebagai
perhitungan diferensial-integal (calculus). Fermar bersama-sama Pascal
menyusun dasar-dasar perhitungan statistik. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 49-57)
2.
Zaman
Modern (abad ke-17-19 M)
·
Newton
(1643-1727), “Teori Gravitasi Newton”
Ini dimulai ketika muncul
persangkaan penyebab planet tidak mengikuti pergerakan lintas lurus, apakah
matahari yang menarik bumi atau antara bumi dan matahari ada gaya saling
tarik-menarik.
·
Joseph
Black (1728-1799)
Ia dikenal sebagai pelopor dalam
pemeriksaan kualitatif, ia menemukan gas CO2.
·
Henry
Cavendish (1731-1810)
Ia memeriksa gas yang terjadi jika
serbuk besi disiram dengan asam dan menghasilkan hawa yang dapat dinyalakan.
Setelah abad ke-18, pada abad ke-19
penemuan yang dianggap sebagai penemuan abad, yaitu penemuan planet Neptunus.
Pada abad XX, terjadi perkembangan ilmu pasti, ilmu kimia, ilmu fisika, dan
lain-lain. (Amsal Bahtiar, 2004 : 57-63)
3.
Ilmu
yang Berbasis Rasionalisme dan Empirisme
Manusia
berusaha mencari jawaban secara rasional dengan meninggalkan cara yang
rasional. Kaum rasionalisme mengembangkan paham rasionalisme. Dalam menyusun
pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan penalaran deduktif. Penalaran deduktif
adalah cara berpikir yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum untuk
menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif
ini, mengguanakn pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme itu
terdiri atas dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan
disebut premis mayor atau premis minor. Kesimpulan diperoleh
dengan penalaran deduktif dari kedua premis itu.
Pengetahuan
yang diperoleh berdasarkan penalaran deduktif, ternyata mempunyai kelemahan,
maka muncullah pandangan lain yang berdasarkan pengalaman konkret. Mereka yang
mengembangkan pengetahuan yang berdasarkan pengalaman konkret ini disebut
penganut epirisme. Paham empirisme menganggap bahwa pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang diperoleh langsung dari pengalaman konkret.
Menurut paham
empirisme, gejala alam bersifat konkret dan dapat ditangkap dengan panca indera
manusia. Dengan pertolongan panca inderanya, manusia berhasil menghimpun sangat
banyak pengetahuan. Penganut empirisme menysun pengetahuan dengan menggunakan penalaran
induktif. Penalaran induktif ialah cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum
dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifta khusus. (Amsal Bakhtiar, 2004
: 63-66)
4.
Perkembangan
Filsafat Pada Zaman Modern
Pada zaman
modern, filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada paham idealisme mengajarkan
bahwa hakikat fisik adalah jiwa, spirit. Sedangkan paham empiris dinyatakan
bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman.
Pada abad XX, aliran filsafat banyak sekali, sehingga sulit digolongkan, karena
makin eratnya kerja sama internasional. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 66-67)
D.
Kemajuan
Ilmu Zaman Kontemporer
Yang dimaksud
dengan zaman kontemporer di sini adalah era tahun-tahun terakhir yang kita
jalani hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman kontemporer meliputi hampir
seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, serta ilmu-ilmu eksakta,
serta aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi rekayasa genetika, informasi dan
komunikasi.
Beberapa contoh perkembangan ilmu
kontemporer, adalah :
1.
Santri
(yang menekankan aspek-aspek Islam), Priyayi (yang menekankan aspek-aspek
Hindu), Abangan (yang menekankan pentingnya Animistik).
2.
Teknologi
Rekayasa Genetika, contohnya kloning.
3.
Teknologi
Informasi, pada penggunaan komputer.
4.
Teori
Partikel Elementer, seperti pada atom dan jenis neutron. (Amsal Bakhtiar, 2004
: 68-84)
III.
BAB
III : PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN
A.
Definisi
dan Jenis Pengetahuan
Ilmu berasal
dari bahasa Arab, yakni “ilm”, yang diartikan pengetahuan. Dalam
filsafat, ilmu dan pengetahuan berbeda. Pengetahuan bukan berarti ilmu, tetapi
ilmu merupakan akumulasi pengetahuan, sebagaimana berbedanya antara science
dan knowledge dalam bahasa Inggris. (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 35)
Secara etomologi,
pengetahuan berasal dari kata, dalam bahasa Inggris, yaitu knowledge.
Dalam Encycopedia Of Phisolohy, dijelaskan bahwa definisi pengetahuan
adalah kepercayaan yang benar. Sedangkan secara terminologi, akan
dikemukakan definisi dari pengetahuan. Menurut Drs.Sidi Gazalba, pengetahuan
adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut
adalah hasil dari kenal, sadar, insyaf, mengerti, dan pandai. Dalam kamus
filsafat, dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui
manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
Lebih lanjut
lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran
internasional objek dalam subjek. Namun, dalam arti sempit dan berbeda dengan
imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berartikeputusan yang benar
dan pasti (kebenaran dan kepastian). (Amsal Bakhtiar, 2004 : 85-86)
Pengetahuan
juga dapat ditinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal
wahyu dan intuisi, maka secara implisit kita mengakui bahwa wahyu dan intuisi
adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu, maka kita mendapatkan pengetahuan
lewat keyakinan (kepercayaan), bahwa yang diwahyukan itu adalah benar. Demikian
juga dengan intuisi di mana kita percaya, bahwa intuisi adalah sumber
pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berpikir intuitif tidak mempunyai
logika atau pola berpikir tertetu. (Jujun S. Suriasumantr, 2007 : 44)
Jenis-jenis
Pengetahuan :
1.
Pengetahuan
biasa, yaitu
pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense
dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki
sesuatu di mana ia menerima secara baik.
2.
Pengetahuan
ilmu, yaitu ilmu
sebagai terjemahan dari science.
3.
Pengetahuan
filsafat, yaitu
pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan
spekulatif.
4.
Pengetahuan
agama, yaitu
pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. (Amsal
Bakhtiar, 2004 : 86-89)
B.
Hakikat
dan Sumber Pengetahuan
1.
Hakikat
Pengetahuan :
·
Realisme
Teori ini mempunyai pandangan
realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi
yang sebenarnya dari apa yang ada di dalam alam nyata (dari fakta atau
hakikat). Ajaran realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara ada
hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang
hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
·
Idealisme
Idealisme menegaskan bahwa untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah
mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang
bersifat subjektif. Premis pokok yang diajukan untuk idealisme adalah jiwa
mempunyai kedudukan utama dalam alam semesta.
2.
Sumber
Pengetahuan :
·
Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani, empeirikos,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.
·
Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal
adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
·
Intuisi
Menurut Henry Bergson, intuisi
adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Menurutnya, intuisi
mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbol yang pada dasarnya bersifat
analisis, menyeluruh, mutlak dan tanpa dibantu oleh penaggambaran secara
simbolis.
·
Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang
disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para Nabi. (Amsal
Bakhtiar, 2004 : 92-110)
C.
Ukuran
Kebenaran
Dalam
pembahasan ini, dibahas kebenaran epistemologis, karena kebenara yang lainnya
secara inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistemologis. Teori yang
menjelaskan kebenaran epistemologis adalah sebagai berikut :
1.
Teori
Korespondensi
Menurut teori
ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut. Pengetahuan dikatakan benar apabila di dalam
kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, internasional, dan pasif-aktif terdapat
kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada
di dalam objek.
2.
Teori
Koherensi tentang Kebenaran
Menurut teori
ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang
lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan
itu sendiri. Menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang lainnya saling
berhubungan dan saling menerangakan satu sama lain.
3.
Teori
Pragmatisme tentang Kebenaran
Menurut filsafat ini, benar tidaknya
suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada azas manfaat.
Sesuatu dianggap benar, jika mendatangkan manfaat dana akan dikatakan salah,
jika tidak mendatangkan manfaat. Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan manusia.
4.
Agama
sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari
kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui
agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun
tentang Tuhan. Dalam agama, yang di kedepankan adalah wahyu yang bersumber dari
Tuhan. Suatu hal itu diangap benar, apabila sesuai dengan ajaran agama atau
wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. (Amsal Bakhtiar, 2004 : 111-122)
D.
Klasifikasi
dan Hierarki Ilmu
Para filosof muslim membedakan ilmu
kepada ilmu yang berguna (ilmu-ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia,
geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khusus mengenai ilmu
keagamaan) dan ilmu yang tidak berguna (ilmu sihir, alkemi, dan numerologi).
Secara umum, ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara
hierarkis ilmu-ilmu, yaitu metodologis, ontologis, dan etis.
Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu
secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu
alam, metafisika, ilmu politik, dan terakhir yurisprudensi dan teologi
dialektis. Beliau memberi perincian ilmu-ilmu religius (Ilahiyah) dalam
bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni
matematika, ilmu alam, metafisika, dan ilmu politik.
Sedangkan Al-Ghazali secara
filosofis membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah.
Klasifikasi Al-Ghazali tentang ilmu syar’iyyah dan ilmu aqliyyah adalah sebagai
berikut :
1.
Ilmu
syar’iyyah
a.
Ilmu
tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
·
Ilmu
tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
·
Ilmu
tentang kenabian
·
Ilmu
tentang akhirat atau eskatologis
·
Ilmu
tentang sumber pengetahuan religius. Yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah (primer),
ijma’, dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua
kategori :
ü Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
ü Ilmu-ilmu pelengkap, terdiri dari : ilmu Qur’an, ilmu riwayat al-Hadits,
ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh.
b.
Ilmu
tentang cabang-cabang (furu’)
·
Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah)
·
Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada masyarakat :
ü Ilmu tentang transaksi, termasuk qishas
ü Ilmu tentang kewajiban kontraktual (berhubungan dengan hukum
kekeluargaan)
·
Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak)
2.
Ilmu
aqliyyah
a.
Matematika
: aritmatika, geometri, astronomi, astrologi, dan musik
b.
Logika
c.
Fisika/ilmu
alam : kedokteran, meteorologi, mineralogi, dan kimia
d.
Ilmu
tentang wujud di luar alam atau metafisika :
·
Ontologi
ü Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktifitas Ilahi
ü Pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana
ü Pengetahuan tentang dunia halus
ü Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi
ü Teurgi (nairanjiyyat). Ilmu menggunakan kekuatan-kekuatan
bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural. (Amsal Bakhtiar, 2004
: 122-129)
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal,
Filsafat Ilmu, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.
Ya’cub, Tasman, Filsafat
Islam : Profil Filosof Islam dan Filsafatnya di Dunia Timur dan Barat,
Padang : IAIN – IB Press, 1999.
Ahmad, Beni,
Saebani, Filsafat Ilmu : Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk, Sumber,
dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung : Pustaka Setia, 2009.
Salam,
Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Suriasumantri,
S. Jujun, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 2007.
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan : Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu,
Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2008.